- Back to Home »
- Share Something Wow »
- Jembatan Zaman
Posted by : Reynold Kevin Patanggu
Kamis, 27 Juni 2013
Semakin usia menjarak, semakin menjerat, semakin pekat, gelapâ?¦
Semakin mimpi mendekat, bukan lagi cahaya terlihat, hanya penat yang semakin mengendap.. Sederet ambisi, itukah yang ita kejar siang malam? Sejauh, ini lalu inikah yang kita cari?
Hidup yang kita jalani, hanyalah episode yang silih berganti. Menikmatinya kita perlu kacamata yang tak selalu baru.
Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya. Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah. Ia merasa telah melihat segala dari ketinggiannya. Namun masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu? Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun bagai bola kaca dari surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik?
Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya. Namun jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. Rambut putih tak menjadikan kita mausia yang segala tahu.
Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh ke atas tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani.
Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri.
Jembatan Zaman, Filosofi Kopi
Semakin mimpi mendekat, bukan lagi cahaya terlihat, hanya penat yang semakin mengendap.. Sederet ambisi, itukah yang ita kejar siang malam? Sejauh, ini lalu inikah yang kita cari?
Hidup yang kita jalani, hanyalah episode yang silih berganti. Menikmatinya kita perlu kacamata yang tak selalu baru.
Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya. Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah. Ia merasa telah melihat segala dari ketinggiannya. Namun masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu? Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun bagai bola kaca dari surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik?
Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya. Namun jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. Rambut putih tak menjadikan kita mausia yang segala tahu.
Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh ke atas tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani.
Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri.
Jembatan Zaman, Filosofi Kopi